Ahlan Wa Sahlan Ya Ikhwatiy...

Ahlan Wa Sahlan Ya Ikhwatiy...
Ramadhan Kariim,, kami merindumu ya syahral Qur'an ^_^

Wellcome in My Blog

Sebaik-baik manusia yang bermanfaat kepada orang lain...

About me

Foto saya
jeuram, Aceh, Indonesia
to be jundiyah Qur'ani ^_^

Jumat, 24 Februari 2012

PAHLAWAN HIDUPKU

Pahlawan hidupku, begitulah gelar yang kusematkan untuk seorang yang sangat berjasa dalam hidupku, dialah wanita yang pertama kucintai setelah kecintaanku kepada sang khaliq dan sang mu'allim seluruh dunia,,mungkin kita semua mempunyai seorang pahlawan yang rela mengorbankan nyawanya untuk kita agar bisa mengintip dunia ini, aku sangat bahagia dan bersyukur kepadaNya yang telah menjadikanku salah seorang hamba yang terlahir dari rahim ibuku.

Awalnya, aku tidak begitu merasakan bahwa ibuku begitu menyayangiku, karena beliau tidak pernah memanjakanku, begitu juga dengan kedua saudaraku, beliau tidak pernah memanjakan kami, namun ketika aku berpisah dengan keluarga untuk melanjutkan pendidikan pada salah satu sekolah khusus tingkat menengah dan tinggal di asrama, aku merasakan ada yang hilang dalam kehidupanku sehari-hari, aku mencari sesuatu yang hilang itu dan tak pernah kudapatkan di asrama. Setelah beberapa lama, akhirnya aku menyadari ternyata aku kehilangan kasih sayang dan cinta yang tulus dari ibu, dan itu hanya bisa kudapatkan di rumah, bukan di asrama, aku merindukan kasih sayang itu.

Mungkin aku termasuk orang yang menyia-nyiakan kasih sayangnya, aku masih terlalu sibuk dengan egoku saat bersamanya, astaghfirullah.. aku belum bisa menjadi anak yang berbakti, dan itu baru terasa saat aku jauh dari sosok pahlawan itu. Dengan demikian aku harus sabar dan tegar dalam mencari jati diri untuk bekal hidup di dunia dan akhirat, aku harus bertahan untuk tetap melanjutkan pendidikan, walaupun kasih sayang itu tidak kudapatkan setiap hari. Namun di luar dugaanku ibuku selalu meluangkan waktu untuk menjengukku ke asrama, beliau seolah-olah mengerti bahwa aku belum siap menerima kenyataan ini, beliau tau sebenarnya aku belum bisa berpisah dengannya begitu cepat, awal semester beliau selalu menjengukku satu pekan sekali, sampai-sampai teman-temanku iri melihat aku sering dikunjungi orang tua. Lama-lama jatah berkunjung menjadi satu bulan sekali dan terus dikurangi sampai tiga bulan sekali, dan akhirnya ketika aku sudah merasa betah tinggal di asrama, beliau sangat jarang mengunjungiku sampai aku terbiasa dengan kehidupan asrama. Begitulah ibuku mendidikku, walaupun kami berjauhan tapi dia tetap orang yang paling dekat denganku karena beliau sangat mengerti tentang aku dan orang yang paling sabar menghadapi tingkahku yang terkadang cepat emosi, sampai aku terdiam karena melihat tawadhu' dan kesabarannya itu..

Aku sangat jarang melihat beliau meneteskan air mata, bahkan sebesar apapun masalah yang sedang dihadapinya, beliau tetap sabar dan tegar serta tawakkal kepada Allah, beliau tidak pernah menampakkan kegelisahannya pada kami. Namun, di hari yang sangat bersejarah dalam studiku yaitu wisuda sarjana 2 tahun yang lalu, beliau tak bisa memendung gerimis dimatanya, itulah bahasa jiwa ibu saat menyaksikanku memakai baju toga dan berdiri didepan Rektor untuk diresmikan menjadi salah seorang sarjana setelah perjuangan dalam masa 4,5 tahun di kampus biru,.. selesai acara wisuda yang pertama ku cari dalam desakan ribuan mahasiswa dan para undangan adalah ibu, subhanallah haru biru hari itu seakan menghapus stiap tetesan peluh, mengobati segala luka serta pengorbanan dalam perjuangan, Ketika itu seakan hilang semua beban, kesedihan, dan kelelahan yang pernah singgah dalam kehidupannya, dan hanya luapan kebahagiaan yang memenuhi ruangan hatinya. Hari itu aku bisa melihat senyum ibu yang begitu tulus dan airmata keharuannya. Aku merasakan hangatnya dekapan ibu dalam bahagia yang sempurna, syukurku pada ilahi atas smua nikmat ini, buah dari kesabaran itu selalu manis rasanya…^_^

Ah,,, pengorbanannya untukku tak sanggup kulukiskan dengan goresan tinta hitam ini,,terlalu sering kujadikan tulisan-tulisan ini sebagai pengobat rinduku kepadanya, namun tak pernah ada bosan, aku terus mencoba menulis dan menulis sebaik mungkin, memilih kata-kata terindah agar suatu saat beliau membaca tulisanku tentangnya, aku ingin melihat beliau tersenyum ketika mengetahui bahwa ternyata ada pengagum rahasia selama ini…

Saat ini aku sedang berusaha untuk segera menyelesaikan hafalanku walaupun dengan tertatih aku harus tetap bergerak, aku tidak boleh menyia-nyiakan pengorbanan ibuku, dia harus mendapatkan penghargaan dari apa yang telah di usahakannya, dan penghargaan yang ingin kupersembahkan adalah mahkota terindah nan bercahaya di akhirat kelak, syaratnya aku harus bisa menghimpun ayat-ayat cinta dari Allah dalam dadaku, mengamalkan dan mendakwahkannya..

Semoga tulisan ini dapat memotivasiku untuk terus berjuang dengan sekuat tenaga untuk membahagiakan hati sang pahlawan kehidupanku, dunia dan akhirat.. Amien

Jakarta, 25 Feb 2012

bintu syarief

Jumat, 27 Januari 2012

Ketika Akhwat Mengajukan Diri

12/1/2012 | 17 Shafar 1433 H | Hits: 10.593
Oleh: Lhinblue Alfayruz
Kirim Print

Ilustrasi (desainkawanimut.com)

dakwatuna.com - “Assalamu’alaikum…” sapaku dengan nafas setengah tersengal pada Ka Mia sambil cipika cipiki.

“Wa’alaykumussalam warahmatullahi wabarakatuh… Sehat Dhir?” balasnya sambil tersenyum.

“Alhamdulillah Ka… Kakak udah lama di sini?” sahutku sambil menyelonjorkan kaki.

“Baru nyampe juga kok… Mbak Syifa telat katanya, kita diminta mulai dulu. Kita tunggu satu orang lagi aja ya baru kita mulai liqonya…”

“Ok deh ka…”

Kami sama-sama terdiam; aku melepas lelah sambil mengatur nafas yang sempat tersengal karena terburu-buru menuju masjid ini, sedangkan Ka Mia berkutat dengan BB di tangannya. Entahlah, aku melihat ada semburat yang berbeda dari wajah Ka Mia. Seperti tahu sedang diperhatikan olehku, Ka Mia langsung mengalihkan pandangannya dari BB di tangannya ke arahku.

“Dhira, gimana kabar CV-mu? Udah ada CV ikhwan yang masuk belum dari Mbak Syifa?” sungging senyumnya dan pertanyaannya membuat hati ini dag dig dug.

Waduuh, kenapa tiba-tiba sang kakak menanyakan hal ini? Aku sebenarnya sudah lama tak ingin membahas tentang hal ini. Ya, sepertinya memang belum bisa tahun ini dan aku sudah menggeser planning itu di 2012 nanti.

“Hmm… belum ka… Kakak sendiri gimana? Udah lagi proses yaaa?” jawabku sambil menggodanya.

Ya. Kami berdua sama-sama sedang dalam masa pencarian dan penantian sang belahan jiwa. Kadang, waktu-waktu menjelang liqo atau setelahnya-lah yang membuat kami sering berbincang tentang masalah perkembangan proses pencarian dan penantian ini. Seperti saat ini yang kami bincangkan.

Teringat dulu, ketika satu bulan aku memasuki kelompok baru ini, ada program ta-akhi (dipersaudarakan) dari Mbak Syifa. Aku dan Ka Mia adalah salah satu pasang ta-akhi dalam lingkaran ini. Program ta-akhi dalam lingkaran kami katanya bertujuan untuk saling menjaga satu sama lain, saudara yang dita-akhikan adalah yang harus paling tahu tentang kondisi saudara yang dita-akhikan dengannya. Walaupun usia Ka Mia terpaut 3 tahun di atasku, tapi kami sudah seperti sahabat dekat, saling bercerita termasuk masalah proses ini. Ya, program ta-akhi dalam suatu ‘lingkaran’ ternyata amat berdampak untuk bisa saling menjaga.

“Aku juga belum, Dhir… Hmm… karena aku menempuh jalan yang berbeda dari yang lain…” wajah Ka Mia terlihat memerah.

Aku memandanginya dengan bahasa wajah tak mengerti.

“Sebenernya, aku udah ada kecenderungan dengan seorang ikhwan…” lanjutnya sambil lekat memandangku dan sepertinya ingin tahu apa reaksiku.

“Hah?? Beneran Ka? Siapa? Aku kenal gak?” rasa penasaranku mulai mencuat ke permukaan hingga bertubi-tubi pertanyaan terlontar.

“Dhira pernah ketemu kok sama orangnya. Inget ga waktu dulu pas Ramadhan, kelompok liqo kita bantuin ngadain buka puasa bersama anak yatim dari kantorku? Nah, yang jadi MC-nya itu, Dhir…” Ka Mia memberikan clue.

Aku mencoba mengingat-ingat. Tak sampai 5 menit, aku bisa mengingatnya dengan jelas. Seorang laki-laki berkemeja kotak-kotak tanpa peci membawakan acara buka puasa bersama anak yatim di daerah Jakarta Selatan. Gayanya yang supel dan agak selengekan, tak memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia seorang ikhwan. Tapi cukup salut dengannya karena bisa membuat anak-anak kecil tertawa dengan lelucon yang ditampilkannya. Aaaahh, ga salah niih Ka Mia ‘naksir’ ikhwan seperti dia? Ka Mia yang terkenal shalihah, kalem dan berjilbab lebar ‘naksir’ ikhwan yang agak selengekan itu.

“Hm… bukannya kakak ga kenal dia sebelumnya ya? Dia itu kan yang ‘punya’ wilayah tempat santunan anak yatim itu bukannya? Ketemunya pas acara itu aja kan?”

“Iya, awalnya emang ga kenal. Ketemu dia juga pas koordinasi beberapa hari menjelang acara dan saat acara. Tapi setelah acara, tepatnya menjelang Idul Fitri, dia add FB-ku. Dari situ akhirnya ada komunikasi via FB. Dan ternyata kantorku juga tertarik untuk menyalurkan qurban Idul Adha di daerahnya, maka jadilah komunikasi itu terjalin kembali.”

“Hoo… gitu… Hmm… boleh tau ga ka? Apa sih yang membuat kakak naksir dia?” rasa keingintahuanku semakin memuncak, hanya ingin tahu apa yang membuat akhwat seshalihah Ka Mia ‘naksir’ seorang ikhwan.

Dari kejauhan, muncullah seorang akhwat bergamis biru dongker. Rina, seorang saudari di lingkaran ini juga. Maka seperti kesepakatan di awal, liqo ini akan dimulai jika sudah ada satu akhwat lagi yang datang.

“Kapan-kapan lagi aja ya Dhir ceritanya…” ujar Ka Mia setengah berbisik sebelum akhirnya Rina mendekati kami.

Liqo pun dimulai dengan tilawah dan kultum. Tak berapa lama kemudian, Mbak Syifa datang dan memberikan materi tentang sabar.

Tiba-tiba selagi asyik mengetik poin-poin penting dari materi yang disampaikan oleh Mbak Syifa, HP yang kupegang bergetar. Ada sms masuk. Dari Ka Mia rupanya, padahal kami duduk bersebelahan.

“Dhir, aku mau lanjutin cerita yang tadi, bada liqo, bisa ga? Tapi khawatir dirimu pulang kemaleman…”

Secepat kilat, kubalas smsnya: “Insya Allah bisa Ka. Nanti aku pulang naik bajaj, tenang aja… :)”

“Siip klo gitu, nanti kita sambil dinner aja sekalian…”

“Azzzeeekk… ditraktir… hehe… ^_^ …”

“Siip, insya Allah… ^_^ …”

Adzan berkumandang, liqo ditutup sementara untuk shalat Maghrib lebih dulu. Aku tak sabar ingin tahu kelanjutan cerita dari Ka Mia, cerita seorang akhwat yang punya kecenderungan lebih dulu terhadap ikhwan. Jarang-jarang ada yang cerita seperti ini ke aku, patut didengarkan. Ya walau kadang ketika seorang akhwat bercerita tak memerlukan saran, maka cukupkan cerita itu sebagai pelajaran.

Liqo pun dilanjutkan. Setelah diskusi tentang materi, saatnya sharing qhodhoya (masalah) dan evaluasi binaan serta amanah. Hingga akhirnya, tepat adzan Isya berkumandang, liqo pun usai. Kami bercipika cipiki ria sebelum pulang. Sementara yang lain memutuskan untuk pulang, aku memutuskan untuk shalat Isya dulu di masjid, sedangkan Ka Mia yang sedang datang bulan menungguku di teras masjid.

Usai shalat Isya, aku dan Ka Mia mulai menelusuri jalan di sekitar RSCM untuk mencari tempat makan. Akhirnya pilihan tempat makan jatuh pada sebuah rumah makan seafood. Kami memilih menu nasi goreng seafood dan juice strawberry. Sambil menunggu menu yang akan dihidangkan, mulailah cerita tadi sore dilanjutkan.

“Oiya Dhir, tadi sore ceritanya sampai mana ya?” pancing Ka Mia lebih dulu.

“Oohh… tadi itu aku nanya, apa siih yang membuat kakak punya kecenderungan sama ikhwan itu?”

“Hmm.. Ok, aku akan cerita Dhir. Selama ini aku bisa nahan cerita ini, tapi sepertinya hari ini ga bisa kutahan untuk ga cerita ke kamu. Jadi, tolong dijaga ya..”, lagi-lagi senyumnya menyejukkan jiwa.

“Siip ka, tenang aja. Palingan nanti aku minta izin buat nulis tentang ini, itupun kalo kakak ngijinin.. hehe, dengan sedikit penyamaran tentunya. Maklum, penulis, slalu mencuri-curi kesempatan untuk menuliskan pengalaman yang inspiratif..”, jawabku sekenanya.

Ternyata direspon baik oleh Ka Mia, “Boleh banget Dhir, aku percayakan ke kamu deeh..”

Menu yang ditunggu pun datang. Berhubung lapar sangat, aku meminta izin untuk mendengarkan cerita sambil makan. Dan Ka Mia pun memulai ceritanya.

“Alasan aku punya kecenderungan dengan ikhwan itu sebenernya karena ada kriteria calon suami yang pas pada dirinya. Ini terkait karakter dia, entahlah aku merasa ‘klik’ aja dengan karakternya. Orangnya supel dan dengan gayanya yang seperti itu, aku yakin dia bisa memudahkan aku untuk berdakwah di keluarga besar. Karena selama ini, aku agak sulit ‘berpengaruh’ di keluarga besar. “

Masya Allah, alasannya ternyata itu; karakter untuk memudahkan berdakwah di keluarga besar. Beda dah emang kriteria akhwat shalihah untuk calon suaminya, bervisi dakwah euy. Bukan kriteria fisik, misalnya putih dan tinggi, seperti yang biasanya sering dicurhatkan ke aku oleh beberapa akhwat yang mencantumkan putih dan tinggi sebagai kriteria calon suami mereka. Ya, karena jika dilihat dari fisiknya, ikhwan yang dicenderungi oleh Ka Mia, termasuk yang biasa saja, standar, tidak putih dan juga tidak tinggi, tapi tetap lebih tinggi sang ikhwan dibandingkan Ka Mia.

“Oohh gitu ka.. trus akhirnya apa yang kakak lakukan?”, tanyaku sambil menyeruput juice strawberry.

“Akhirnya, setelah istikharah beberapa malam, aku sampaikan tentang hal ini ke Mbak Syifa. Mbak Syifa pun berusaha mencarikan jalur tarbiyah sang ikhwan lewat teman Mbak Syifa. Nunggu kabar itu, lama banget, berminggu-minggu baru dapat kepastian bahwa ternyata temannya Mbak Syifa yang ada di daerah yang sama dengan ikhwan itu, ga bisa mendeteksi karena ga ada yang kenal dengan ikhwan itu. Waaah, sempet terpikir tuh sama aku, ini ikhwan, tarbiyahnya sehat gak ya? kok ga dikenal ya di daerahnya sendiri? Mbak Syifa pun ga bisa bantu lagi. Kembali aku istikharah, nanya sama Allah, gimana lagi ini caranya untuk menemukan jalur tarbiyahnya? Dan akhirnya petunjuk itu datang. Aku teringat pas koordinasi acara santunan anak yatim itu, aku juga koordinasi sama seorang akhwat selain sama sang ikhwan. Tentunya sang akhwat mengenal baik sang ikhwan karena berada di satu daerah. Akhwat itu udah punya anak dua, Mba Nany namanya. Aku beranikan diri menyatakan hal itu ke Mba Nany via FB, tapi izin dulu ke Mbak Syifa. Mba Syifa mempersilakan. Alhamdulillah, Mbak Nany merespon cepat, beliau minta MR-ku untuk hubungin beliau, kemungkinan besar Mbak Nany tahu jalur tarbiyah sang ikhwan. Aku kasih tahulah respon ini ke Mbak Syifa dan minta tolong Mbak Syifa hubungin Mbak Nany. Aku kasih nomor Mbak Nany ke Mbak Syifa.”

“Sambil dimakan Ka.. “, sela-ku karena melihat nasi di piring Ka Mia masih banyak dibandingkan nasi di piringku yang tinggal beberapa suap lagi.

Ka Mia pun menyuapkan nasi goreng seafood ke mulutnya.

“Waah,, ribet juga ya Kak, prosesnya. Salut aku, kakak sampai sebegitu beraninya.”

“Ya namanya juga ikhtiar, Dhir.. Aku juga ga nyangka bakal seberani ini. Tapi ya itu tadi, sebelum bertindak apa-apa, aku istikharah dulu, curhat ke Allah. Dan Allah memantapkan hati ini untuk bertindak pada akhirnya, makanya aku berani. Pas mau cerita ke Mbak Syifa n Mbak Nany aja, ada rasa ga berani.. Tiap mau kirim message, pasti didelete lagi, diurungkan niatnya. Baru ada keberaniaan mengirim message setelah shalat istikharah..”

Masya Allah, baru kali ini aku mendengar cerita akhwat yang mencari jalur tarbiyah ikhwan. Biasanya, ikhwan yang berusaha mencari jalur tarbiyah akhwat. Benar-benar jalan yang ditempuh berbeda dari yang lain. Tak sabar diri ini menunggu cerita selanjutnya dari Ka Mia.

“Trus akhirnya udah ada progress dari Mbak Nany n Mbak Syifa?”

Ka Mia menyeruput juice strawberry-nya baru kemudian melanjutkan cerita, dengan sedikit menghela nafas.

“Huuffhh. Ya, aku udah dapet kabar dari Mbak Syifa, baru aja kemarin Mbak Syifa meminta aku ke rumahnya. Jadi ternyata, Mbak Nany itu harus nanya dulu ke Murabbiyahnya untuk mencari tahu siapa Murabbi sang ikhwan. Makanya agak lama juga progressnya, hampir satu bulan. Mbak Syifa ga tau bagaimana MR Mbak Nany mengkomunikasikan hal ini ke MR sang ikhwan, yang jelas Mbak Syifa mohon tidak menyebutkan namaku, untuk menjaga izzah. Trus barulah dapet kabar kalo MR ikhwan itu agak keberatan dengan akhwat yang mengajukan diri lebih dulu, dan ada kemungkinan MR ikhwan itu sudah punya proyeksi akhwat lain untuk sang ikhwan. Mungkin sang MR menginginkan binaannya ta’aruf dimana masing-masing belum saling kenal, berbekal dari CV pilihan sang MR, masih seperti jaman awal dakwah dulu. Kalo kata Mbak Syifa, kebanyakan MR ikhwan itu biasanya memang masih belum menerima jika ada akhwat yang mengajukan diri lebih dulu, beda dengan MR akhwat yang lebih terbuka dan ga mempermasalahkan kalo ada akhwat yang mengajukan diri. Jadi memang agak sulit kalo Mbak Syifa harus ngomong langsung ke MR sang ikhwan. Soalnya kan udah tau pandangan MR ikhwan itu terkait akhwat yang mengajukan diri lebih dulu, seperti apa. Lagipula sempat disinggung kemungkinan sudah ada proyeksi akhwat lain untuk sang ikhwan dari MRnya. Kalo Mbak Syifa langsung menghubungi MR sang ikhwan, itu pasti mau ga mau akan membuka namaku. Mbak Syifa juga masih bingung makanya mau gimana kelanjutannya dan keputusan itu diserahkan ke aku; mau dihentikan atau mau tetap lanjut tapi gimana caranya? Ya, gitu deh ceritanya.. Gimana tanggapanmu, Dhir?”, Ka Mia mengakhiri cerita itu dengan senyum simpulnya.

Aah.. Ka Mia masih bisa tersenyum dengan kabar seperti itu. Jika aku berada di posisinya mungkin sudah menyerah dengan perjuangan untuk menuju ta’aruf yang super duper ribet seperti itu. Belum aja ta’aruf, sudah ribet sedemikian rupa, apalagi jika sudah ta’aruf dan menuju jenjang pernikahan. Mungkin ini yang disebut perjuangan untuk sebuah rasa yang harus dipertanggungjawabkan.

“Hoalah.. Kok ribet banget ya ka? MR ikhwan udah jelas-jelas keberatan kalo akhwat mengajukan diri lebih dulu dan sepertinya udah punya proyeksi akhwat lain untuk sang ikhwan. Uppss.. maaf Ka.. “, aku menahan kata-kata lainnya untuk dikeluarkan, khawatir menyinggung perasaan Ka Mia.

“Kok minta maaf? Ga papa Dhir.. Ya begitulah ikhwan, kadang sulit dimengerti. Aku juga belum tau apakah sang ikhwan memiliki kecenderungan yang sama atau ga sepertiku. Masalahnya, baru kali ini aku menemukan seseorang yang aku rasa ‘klik’ denganku, maka aku mau coba berusaha mengikhtiarkan jalan ini. Di usia yang sudah seharusnya menikah, apalagi yang ditunggu jika ada seseorang yang dirasa sudah cocok dengan kita. Jalan satu-satunya adalah mengikhtiarkan walaupun aku belum tau sebenarnya apakah ikhwan itu punya kecenderungan yang sama. Jika sudah diikhtiarkan jadi ga penasaran, apapun itu hasilnya. Toh kalo jodoh ga ke mana kan?”

Aah.. Kata-katanya ini sungguh menancap dalam ke relung hatiku. Usia Ka Mia yang saat ini sudah menginjak 26 tahun memang sudah selayaknya menikah. Aku saja yang 3 tahun di bawahnya juga sedang dalam pencarian dan penantian, apalagi Ka Mia yang sudah bertahun-tahun mencari dan menanti. Tak terbayangkan bagaimana perasaannya selama itu menanti.

“Iya, ka.. insya Allah jodoh ga pernah ketuker. Kalo memang Ka Mia berjodoh di dunia ini dengan ikhwan itu, insya Allah jalan menuju ke sana pasti terbuka. Hm.. kalo menurutku ga masalah sebenernya akhwat mengajukan diri lebih dulu, itupun ada contohnya dari bunda Khadijah. Ya tapi memang ga lazim aja di jaman sekarang ini, masih dianggap tabu bagi sebagian besar orang. Oya, aku mau tanya sama kakak donk, apa kakak udah tahu betul bagaimana akhlaq sang ikhwan hingga akhirnya kakak berniat mengajukan diri lebih dulu? “, naluri konsultan mulai muncul dalam diri.

“Insya Allah udah, Dhir. Ketika aku mengutarakan hal ini ke Mbak Nany, yang juga kenal baik dengan ikhwan itu, aku juga minta dijelaskan bagaimana karakter dan sifat sang ikhwan selama bekerjasama dengan Mbak Nany. Mbak Nany bilang, sang ikhwan punya daya juang yang tinggi, walau terlihat selengekan termasuk yang mudah dinasihati. Untuk kesiapan menikah dalam waktu dekat, Mbak Nany melihat sudah ada kesiapan dari sang ikhwan. Tapi mungkin ada sedikit masalah pada financial karena sang ikhwan masih harus membiayai adiknya yang masih SMA dan yang masih skripsi. Dari penjelasan Mbak Nany, makin memantapkan diriku, Dhir.”, jelas Ka Mia.

“Hoo.. bagus deh kalo gitu Ka. Karna kan ketika bunda Khadijah ingin mengajukan diri, beliau mencari tahu dulu akhlaq Muhammad melalui perantara Maisarah, orang kepercayaannya, dengan melakukan perjalanan dagang bersama. Trus setelah tahu dan mantap, baru deh meminta Nafisah, wanita setengah baya, untuk ngomong dari hati ke hati sama Muhammad. Ga langsung nembak bahwa Khadijah suka dan menginginkan Muhammad sebagai suaminya. Tapi menanyakan hal-hal umum terkait kesiapan Muhammad tentang pernikahan dan apakah sudah ada calon atau belum. Ketika Muhammad bilang belum ada calon, maka Nafisah mengajukan wanita dengan kriteria tertentu, rupawan, hartawan dan bangsawan, tidak menyebutkan bahwa Khadijah-lah orangnya. Namun dari kriteria yang disebutkan itu, Muhammad pun paham siapa yang dimaksud. Ya, berarti kakak udah menempuh jalan sampai tahap Maisarah, tinggal mencari Nafisahnya Ka.”

“Hmm.. iya betul, Dhir.. Aku juga sempat terpikir hal itu, tapi siapa ya yang bisa menyampaikannya?”

“Sebenernya menurutku, Mbak Nany juga bisa langsung berperan sebagai Nafisah. Tadi kan kakak bilang agak sulit dengan MR ikhwannya. Kan bisa aja Mbak Nany yang mancing lebih dulu, untuk ta’aruf selanjutnya bisa diserahkan via MR, jika tentunya sang ikhwan juga punya kecenderungan yang sama. Setidaknya Mbak Nany bisa mengorek informasi apakah sang ikhwan sudah punya calon yang akan dinikahi atau belum, atau sudah ada kecenderungan dengan akhwat lain atau belum. Kalo belum, bisa aja dengan sedikit candaan, Mbak Nany menawarkan ke sang ikhwan, sambil ngomong kayak gini: saya ada akhwat niih yang udah siap nikah dan sedang mencari pendamping, bersedia ga? Kriterianya blablabla, nyebutin kriterianya Ka Mia. Kalo sang ikhwan bersedia dengan kriteria yang disebutin, Mbak Nany bisa langsung kasih tahu kalo akhwat yang udah siap nikah itu adalah Ka Mia. Mbak Nany, Ka Mia dan sang ikhwan kan udah saling kenal, jadi lebih gampang seharusnya. Nah, nanti kan jadi makin tahu gimana respon sang ikhwan jika ternyata akhwat yang ditawarkan itu Ka Mia. Kalo ikhwan bilang lanjut, maka dia bisa langsung bilang ke MRnya kalo dia sudah siap nikah dan sudah punya nama. Kalo udah binaan sendiri yang bilang ke MR mah, biasanya udah gampang Ka, apalagi udah ngajuin nama. Kalo kayak gini prosesnya kan jadi ga keliatan kalo Ka Mia yang mengajukan diri lebih dulu, tapi harus bermain ‘cantik’ dalam proses, jangan sampai sang ikhwan tahu kalo Ka Mia mengajukan diri. Hehe..”, panjang lebar aku menjelaskan bagaimana sebaiknya penerapan proses Ka Mia dan sang ikhwan seperti proses Khadijah dan Muhammad.

“Hwaaa.. Dhiraaaa, kamu udah kayak konsultan jodoh aja deh. Jadi tercerahkan niih aku jadinya. “, Ka Mia menepuk pipiku yang gembul.

“Semoga bisa sedikit ngasih solusi untuk proses kakak yang rumit itu, masa’ hanya gara-gara MR ikhwan, langsung mundur? Ada banyak jalan menuju Roma.. hehe..”

“Siip,, insya Allah.. Naah, kamu sendiri gimana niih Dhir? Udah nemu yang cocok denganmu belum?”, tembak Ka Mia kepadaku.

“Hehe.. aku mah sabar aja Ka dalam penantian ini, nunggu pangeran berkuda putih dateng ngelamar aja, hehe..”, jawabku sedikit asal.

“Sabar dalam penantian itu bagi seorang akhwat ga berarti pasif, tinggal nunggu. Akhwat juga harus aktif dalam penantian. Jumlah akhwat itu jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah ikhwan. Terlepas dari jodoh adalah takdir, tetep harus ikhtiar yang terbaik untuk mencari calon imam bagimu dan anak-anakmu kelak. Memang benar jodoh itu di tangan Allah, tapi kita juga harus aktif berikhtiar mengambil dariNYA. Kalo memang di sekitarmu ada ikhwan yang dirasa cocok denganmu, coba aja kamu ajukan diri, bilang ke Mbak Syifa, katanya target tahun ini kan? Tentunya dengan tetap menjaga izzah sebagai seorang akhwat dan jangan pernah tinggalkan istikharah dalam mengambil tindakan apapun..”, ujar Ka Mia memberi masukan untukku.

“Hahahaha.. ga jadi tahun ini Ka.. Ga keburu.. Jadi,, tahun depan aja targetnya insya Allah.. hehe..”

“Jiiaahh.. kamu ini udah siap belum siih? Apa cuma sekadar ingin menikah? Lagi labil gitu maksudnya..”, ledek Ka Mia.

“Siap gak siap mah harus nyiapin diri Ka.. Tapi apa mau dikata kalo pangeran berkuda putihnya belum muncul-muncul juga?”, aku menimpali ledekan Ka Mia.

“Yaudah, kita saling mendoakan ya yang terbaik, dan ikhtiar yang terbaik juga.. Jazakillah ya Dhir, udah mau denger ceritaku dan ngasih solusinya.. Aku cerita ini cuma ke 3 orang, Mbak Syifa, Mbak Nany dan kamu. Bahkan aku cerita detail seperti ini cuma ke kamu looh.. Hehe..”

“Sama-sama Ka, ceritanya menginspirasi banget. Jarang loh ada akhwat yang berani mengajukan diri. Dan aku rasa, hanya akhwat tangguh yang bisa seperti itu. Tangguh akan perasaan dan hatinya. Alhamdulillah kalo ada respon positif dari sang ikhwan, kalo responnya negatif? Hanya akhwat tangguh yang bisa menerima kemungkinan kedua; ditolak.. Aku salut deh sama kakak. Semoga lancar urusannya y Ka.. Doain aku juga, semoga pangeran berkuda putihku segera datang menjemputku.. hehe..”

“Aamiin.. insya Allah saling mendoakan yang terbaik..”

Kami pun menyudahi dinner. Ka Mia menungguku hingga naik bajaj. Aah, sungguh malam yang berkesan dalam kebersamaan dengan saudari seperti Ka Mia.

****

Sesampai di rumah, kurebahkan diri ini di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang tak begitu tinggi. Pandangan kualihkan ke sebelah kanan tempat tidur. Ada sebuah diary biru yang tergembok. Aku buka dompetku dan kukeluarkan sebuah kunci di sela-sela saku dalamnya. Gembok ‘blue diary’ itu pun kubuka. Kuraih ballpoint tepat di samping kananku. Baru saja tangan ini tergerak untuk menulis, terdengar sebuah dering dari HP-ku. Kuraih HP dan terteralah sebuah pesan dari YM-ku.

“Asslm.Dhir,gmana nih kabarnya? lagi deactive FB ya?”

Aah.. Rasa yang tak biasa itu muncul lagi, tepat di hari ke-7 aku mendeaktif akun FBku. Kenapa nama seorang ikhwan itu yang tertera di YM-ku menyadari bahwa aku sedang mendeaktif FB-ku? Kata-kata Ka Mia pun terngiang:

“….Kalo memang di sekitarmu ada ikhwan yang dirasa cocok denganmu, coba aja kamu ajukan diri, bilang ke Mbak Syifa..”

“….Kalo memang di sekitarmu ada ikhwan yang dirasa cocok denganmu, coba aja kamu ajukan diri, bilang ke Mbak Syifa..”

“….Kalo memang di sekitarmu ada ikhwan yang dirasa cocok denganmu, coba aja kamu ajukan diri, bilang ke Mbak Syifa..”

“….Kalo memang di sekitarmu ada ikhwan yang dirasa cocok denganmu, coba aja kamu ajukan diri, bilang ke Mbak Syifa..”

Segera kutepis kata-kata itu dan mencoba menepis rasa yang terlanjur ada. Tak terasa, bulir-bulir hangat itu membasahi pipi. Kugerakkan tangan ini untuk menulis dalam ‘blue diary’.

Jika anugrah itu membahagiakan

Maka cinta yang [katanya] merupakan anugrah dariNYA

Seharusnya juga membahagiakan

Namun adakalanya

Ada yang merasa tak bahagia dengan cinta

Atau janganlah terlalu dini menyebutnya cinta

Mari kita sebut saja sebuah rasa

Rasa yang berbeda

Yang [lagi-lagi katanya] menggetarkan jiwa

Aha

Mungkin memang belum saatnya

Rasa itu ada

Hingga diri merasa nista dengan rasa

Atau jangan-jangan rasa yang ada

Didominasi oleh nafsu sebagai manusia

Jika itu permasalahannya

Maka titipkanlah rasa pada SANG PENGUASA

Biarkan ia yang belum saatnya, bersamaNYA

Biarkan waktu yang kan menjawabnya

Hingga Dia mengembalikan rasa itu jika saatnya tiba

Wanita.. Wanita..

Slalu saja

Bermain dengan rasa

Maka mendekatlah padaNYA

Agar rasa yang belum saatnya

Tetap terjaga

Agar rasa yang ada

Tak membuat hati kecewa

Agar rasa yang dirasa

Tak membuat jauh dariNYA

Biarkanlah diri merasa nista dengan rasa

Jika ternyata nafsu tlah menunggangi ia yang belum saatnya

Hingga akhirnya membuat diri menangis pilu karenanya

Menangis karena menyadari bahwa dirinya masih rapuh ternyata

Masih perlu belajar bagaimana mengelola rasa yang belum saatnya

Ya Rabbana

Hamba titipkan rasa yang belum saatnya

Agar ia tetap suci terjaga

Hingga waktunya tiba

Aah.. Aku bukanlah akhwat tangguh yang bisa memperjuangkan rasa yang terlanjur ada. Aku hanya akhwat biasa yang tak sanggup akan rasa yang belum saatnya, karena aku bukanlah Khadijah yang mulia.

based on true story


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/01/18072/ketika-akhwat-mengajukan-diri-2/#ixzz1kjkY0oJR

KISAH POHON APEL

Teman-teman, kisah ini saya copy dari sebuah catatan di facebook, semoga bermanfaat.. terutama buat mereka yang jauh dari orang tua karena sedang mengais ilmu di bumi Allah.. buat semua yang merindukan orang tua stiap saat, maka kisah ini betapa semakin mengharu biru langit jiwa.. semoga kita menjadi sang anak yang slalu bisa berbakti kepada orang tua, dunia dan akhirat.. amien.
selamat menyerap hikmah di balik layar.. eh kisah ^_^ ...
KISAH POHON APEL
http://www.facebook.com/profile.php?id=1391446741
Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari. Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu. Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu.

Waktu terus berlalu.
Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya. Suatu hari ia mendatangi pohon apel, wajahnya tampak sedih.

"Ayo ke sini bermain-main lagi denganku," pinta pohon apel itu.
"Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi," jawab anak lelaki itu.
"Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya."
Pohon apel itu menyahut, "Duh, maaf aku pun tak punya uang... tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu. "

Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih.

Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang melihatnya datang.
"Ayo bermain-main denganku lagi," kata pohon apel.
"Aku tak punya waktu," jawab anak lelaki itu.
"Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?"
"Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu," kata pohon apel.

Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu dan pergi dengan gembira.Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.

Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya.
"Ayo bermain-main lagi deganku," kata pohon apel.
"Aku sedih," kata anak lelaki itu.
"Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?"
"Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah ."

Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu.

Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian.
"Maaf anakku," kata pohon apel itu. "Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu."
"Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu," jawab anak lelaki itu.
"Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat," kata pohon apel.
"Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu," jawab anak lelaki itu.

"Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini," kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.
"Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang," kata anak lelaki.
"Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu. "
"Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang."

Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon. Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.

Ini adalah cerita tentang kita semua. Pohon apel itu adalah orang tua kita. Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita. Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan.

Tak peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia. Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.

Cintailah kedua orang tua kita dengan tulus. Sampaikan pada orang tua kita sekarang, betapa kita mencintainy, dan berterima kasih atas seluruh hidup yang telah dan akan diberikannya pada kita.

By Lautan Motivasi

Jumat, 06 Januari 2012

Manajemen Pengambilan Keputusan

Bismillah...Ba'da tahmid dan sholawat..

Akhwatiy Fiellah.. pernahkah kita merasa bingung dalam mengambil keputusan? atau cenderung dengan satu pilihan di antara dua pilihan.. bahkan tak jarang terkadang dilema menyapa pikiran kita.

Tentunya setiap jiwa dilanda kebimbangan ketika harus memutuskan sesuatu dalam hitungan menit atau jam. nah.. pada saat itulah sang iman sangat berperan aktif untuk menuntun kita pada pilihan yang benar,, pada saat itu pula jiwa yang selamat akan membimbing kita untuk lebih tenang dalam menata hati. betapa efektif iman yang bergerak itu , merasakan ada yang selalu membersamainya.. siapa lagi yang akan menunjukkan arah yang paling tepat selain Allah?

Seseorang yang memiliki jiwa yang selamat atau iman yang bergerak alias tidak tidur, maka dia tidak akan terjerumus kedalam jurang penyesalan saat memutuskan sesuatu, karena dia memiliki langkah-langkah jitu saat mengambil keputusan itu, tidak sekedar untuk kepentingan individu..

Nah, bagaimana langkah-langkah dalam mengambil keputusan itu? inilah secuil ilmu yang ana dapatkan dalam majelis ilmu pekan ini..yang insya Allah sangat bermanfaat bagi kita..

Manajemen Pengambilan Keputusan :

1. Ambil keputusan yang prosesnya sesuai dengan Al-Qur'an dan sunnah.

* Berdo'a dan istikharah

* Menyerahkan kecenderungan kepada Allah semata

2. Tidak mengambil keputusan ketika sedang dalam kondisi marah.

3. Ambil keputusan yang lebih banyak maslahat untuk orang lain dari pada pribadi.

4. Ambil keputusan yang bersifat ukhrawi.

wallahu a'lam bis shawab.. baarokallahu fiekunna wa jazakunnallah khoiran :)


by Bintu Syarief ^_^

Bumi An Nadwah, 1 januari 2012